Sebenarnya, Pisau bapak penjual daging tersebut tak jauh beda (beda-beda tipis) dengan pisau ibu-ibu di dapur, pun dengan pisau bapak-bapak yang hanya digunakan setahun sekali kala hari raya qurban. sama-sama dibuat oleh tukang pandai besi, sama-sama dibakar bara, dan dilempengkan layaknya tata cara pembuatan pisau kebanyakan.
Mau kah kau kuceritakan letak perbedaannya, kawan-kawinku sekalian?
Asah, disitu perbedaannya. setiap akan mengeksekusi daging, mata pisau pak penjual daging akan di jilat-jilatkan ke lidah asahan yang entah sudah berapa tahun menemaninya apabila dilihat dari gesture bentuknya yang cekung. tak ada kata berkarat dalam kamus mata pisau si bapak penjual daging, mata pisaunya putih bersih. libasannya hanya butuh ujung mata pisau saja, berbeda dengan pisau bapak-bapak yang mengasahnya setahun sekali kala Hari Raya Qurban, mata pisaunya kabur, sekabur warna dan libasannya. butuh berulang-ulang ayunan dan gesekan untuk memotong daging.
Intensitas Asahan yang tak kenal waktu dan ulangan itu yang membuat pisau pak penjual daging tak mampu dikejar kharisma nya oleh pisau ibu-ibu dapur atau bapak-bapak panitia qurban. intensitas yang menjadi semacam ritual wajib tiap hari tadi melahirkan kesaktian bagi si pisau.
Saya jadi menghayal, mengapa orang-orang tua jaman baheula dulu sangat sakti-sakti? apa karena mereka demen ngasah? jadi ketika ada sesuatu yang mendesak, mereka tak perlu repot mengeluarkan “asahan” dan merapal berbagai mantra dan do’a. pun dalam bidang keilmuan, Orang terdahulu intensitas mengasah otaknya tak putus, setiap hari belajar dan membaca, tak sampai disitu mereka rela meluangkan waktu santainya disita untuk merenungkan apa yang telah dibaca (tela’ah ulang). mungkin disini rahasia “Istiqomah (berkesinambungan) itu mengalahkan 1000 kesaktian (karomah)?”
Kawan-kawinku yang bejo, sudahkah kamu mengasah pisaumu? atau pisau dapur milik ibumu?
jgn cm piso doang yg diasah ! otak jg perlu diasah :D xixixixi
ReplyDelete